Jumat, 28 Januari 2011

Who Am I...?



Ini merupakan pertanyaan mendasar yang dibutuhkan jawabannya oleh setiap manusia. Individu disebut sehat secara psikologis jika menemukan dirinya sebagai pribadi unik tanpa keterpisahan dari orang lain. Kendati perasaannya menyatu dengan semua orang, ia tidak meleburkan diri pada kelompok secara membabi buta alias mengenakan identitas massa.


“Saya seorang pengusaha”, “saya seorang polisi”, “saya seorang dokter”, “saya orang Jawa”, ”saya keturunan Arab”, “saya beragama Islam”, “saya orang Katolik”, dan sebagainya merupakan pernyataan yang dapat sangat berarti. Kebangsaan, suku, agama, status/profesi sering kali membantu memberikan rasa identitas sebelum seseorang menemukan yang asli dan unik. 

Untuk mengetahui adanya kesadaran mengenai identitas sejati dalam diri kita, dapat dibayangkan dengan mengandaikan situasi ketika seseorang bertanya, “Siapakah aku menurut yang kamu ketahui?” Mungkin ada yang menjawab, “Kamu seorang pengusaha yang sukses” atau “Kamu orang Ambon beragama Islam”, dan lain-lain. 
Apakah kita cukup puas dengan mengetahui identitas kita seperti itu?  Apakah kita sudah merasa sangat berharga dengan keanggotaan kita dalam suatu kelompok kebangsaan, suku, agama, status/profesi? 

Jawaban seperti itu tidak akan cukup memuaskan orang yang telah menemukan siapa sejati dirinya. Ia baru akan puas bila mendapat jawaban yang sesuai dengan pengenalannya terhadap diri sendiri yang unik, seperti “Kamu itu sersan: tampak santai-santai ternyata serius,” atau “Kamu orang yang unik: tegas tetapi lembut juga,” atau “Kamu ini bertampang residivis, tetapi berhati malaikat,” dan sebagainya. 

Namun, penemuan identitas diri sebenarnya tidaklah sesingkat jawaban-jawaban tersebut. Hal yang paling mendasar dalam penemuan identitas diri sejati adalah adanya perasaan sebagai individu yang unik, merasakan “aku” sebagai pusat dan subyek aktif dari potensi-potensinya, dan mengalami dirinya apa adanya, bebas dari tekanan otoritas tertentu. 

Kebalikan dari penemuan identitas diri adalah keadaan individu yang menggantungkan identitasnya pada hal-hal yang bersifat eksternal, umumnya bergantung pada kelompok di mana ia menjadi bagiannya. 

Tidak semua orang dapat menemukan identitas diri sejati. Mayoritas dari kita masih mengenakan identitas massa: mengabaikan potensi untuk berpikir-merasa-bertindak secara asli sesuai “cita rasa” sejatinya. Kita menggantikannya dengan pikiran, perasaan, dan tindakan sesuai dengan yang diinginkan oleh kelompok di mana kita menjadi bagiannya atau yang diinginkan oleh otoritas tertentu.

Kebutuhan identitas
“Aku adalah sebagaimana keinginanmu” merupakan judul sebuah drama yang pernah ada. Erich Fromm dalam bukunya, The Sane Society, melihat bahwa drama yang ditulis oleh Pirandello itu mencerminkan kondisi di mana rasa identitas seseorang bersandar pada rasa yang dimiliki oleh orang banyak tanpa dapat dipertanyakan (dikritisi). 

Uniformitas (penyeragaman dalam berpikir, merasa, dan bertindak) dan konformitas (mengikuti sikap dan perilaku kelompok) sering kali tidak disadari dan diselubungi dengan ilusi individualitas.

Menurut Fromm, problem rasa identitas tidaklah seperti yang dipahami orang pada umumnya: semata-mata dianggap sebagai problem filosofis. Kebutuhan akan rasa identitas keluar dari kondisi dasariah eksistensi manusia dan merupakan sumber perjuangan yang amat intensif. “Karena saya tidak dapat sehat tanpa rasa aku, saya terdorong berbuat apa saja untuk mendapatkan rasa tersebut.” 

Lebih lanjut Fromm menjelaskan, di balik penderitaan yang berat, status dan konformitas begitu dibutuhkan dan kadang lebih kuat dari kebutuhan untuk bertahan hidup secara fisik.

Hal ini dapat dilihat dari adanya fakta orang rela mempertaruhkan hidup, mengorbankan cinta, menyerahkan kebebasan, mengorbankan ide-ide demi menjadi suatu kelompok yang konformis, dan dengan demikian memperoleh rasa identitas, walaupun hanya ilusi belaka.


hal - hal yang harus dapat kita kenali dari diri kita adalah sebagai berikut:

Sifat - sifat dan karakter
Setiap orang pasti membawa sifat-sifat dan karakternya sendiri-sendiri, setiap orang walaupun bisa saja ada kemiripan tapi tidak pernah ada yang sama persis dalam hal ini. Menurut saya sebenarnya sifat-sifat dan karakter dalam diri seseorang ini tidak ada batasan "baik-buruknya" karena bagaikan "rasa dan aroma dalam setiap masakan saja", hanya saja kalau banyak orang yang dapat menerima dan menyenangi maka dianggap "baik" sedangkan kalau banyak orang tidak dapat menerima dan tidak suka maka dinilai "tidak baik". Tentu pada akhirnya mau tidak mau harus "ada penilaian", kitapun tidak bisa terlepas dan sudah sewajarnya berusaha mengejar nilai-nilai berlaku yang baik. 
Hasrat dan keinginan
Setiap orang pasti memiliki hasrat dan keinginannya masing-masing, yang biasanya adalah merupakan refleksi dari sebuah bentuk ideal / cita-cita yang awalnya bersumber dari ego. Dalam bentuk yang paling sederhana dan murni bisa disimpulkan bahwa ego semua manusia itu pada dasarnya adalah "baik" karena secara alamiah bersumber dari "survival spirit" (naluri mempertahankan hidup). Sehingga setiap manusia selalu bermotivasi untuk mempertahankan hidupnya serta terus mengembangkan hidup ke kondisi yang semakin baik dan jauh dari resiko - resiko kesusahan baik secara fisik maupun mental. Nah, karena begitu kompleknya keadaan yang ada maka akhirnya latar belakang dan kesempatan yang ada pada seseorang akan berbeda dengan orang lainnya. Hal ini pulalah yang kemudian harus bisa juga dipahami dan disadari sehingga kita bisa benar-benar menyatu dengan hasrat dan keinginan kita sesuai kealamiahannya masing-masing (hasrat dan keinginan ini saya anggap sebagai suatu daya pendorong gerak yang sangat murni dan tulus). Tetapi tentunya keadaan sosial tetap harus dijadikan rambu-rambu keseimbangan geraknya.
Kemampuan
Penguasaan terhadap suatu hal yang merupakan ciri khas seseorang yang dimiliki dan didapat secara dan dalam kealamiahannya masing - masing, haruslah terus digali dan dikembangkan serta dipergunakan secara positif demi kepentingan kebaikan yang semakin luas semakin baik. Dalam hal ini yang namanya kemampuan itu, normalnya memang akan selalu terasa kurang bagi semuanya, karena adanya kondisi persaingan yang semakin mengetat. Oleh karena itu jika bisa mengenal kemampuan diri maka secara lebih gampang pula kita dapat terus mengembangkannya sehingga mencapai suatu level yang relatif tinggi. Biasanya kemampuan seseorang itu berupa wawasan, pengetahuan, kepandaian dan keahlian, yang merupakan hasil dari perpaduan antara intelegensi dan emosi melalui proses belajar (baik sekolah maupun otodidak) serta pengalaman-pengalaman sepanjang hidupnya. Dari sini, maka kita dapat disimpulkan bahwa "belajar" dan "berlatih" adalah dua hal pokok yang sangat berperan dalam usaha meningkatkan kemampuan diri.
Ketidakmampuan & keterbatasan
Diluar kemampuan yang ada, maka adalah hal yang alami pula bahwa setiap insan didunia ini selalu diliputi juga oleh ketidakmampuan dan keterbatasan (sengaja penulis tidak menggunakan kata "kelemahan" untuk memberikan nuansa optimisme).
Adapun merupakan hal yang juga tidak kalah pentingnya dalam proses pengenalan diri kita masing-masing untuk justru lebih mengenal ketidakmampuan dan keterbatasan yang ada dengan motif untuk memperbaiki dan merubahnya sebisa mungkin sehingga menjadi faktor yang bahkan dapat diandalkan. Dalam masalah ini memang kemauan dan usaha keras secara konsisten mutlak diperlukan , karena biasanya untuk dapat bisa "mengakui" bahwa kita mempunyai ketidakmampuan dan keterbatasan saja sudah sangat sulit(karena harus melawan ego dan kesombongan kita) apalagi untuk merubahnya. Modal dasar utama yang diperlukan untuk mengatasi hal ini adalah kejujuran dan keterbukaan. Akan tetapi dilain sisi, jangan pula kita sampai terjerumus dan terseret arus pola berpikir pesimis yang akhirnya justru membesar-besarkan faktor ketidakmampuan dan keterbatasan yang ada menjadi senjata dan alasan untuk meng "cover" semua hal dalam kehidupan ini yang memang sulit dan berat bagi siapapun.
Latar belakang
Latar belakang bisa dianggap sebagai akar dari semua perkembangan yang timbul dan ada sekarang ini bagi siapapun juga. Walau kita pada akhirnya memang tidak perlu mempermasalahkan tapi bisa memahami latar belakang dari diri kita sedikit banyak dapat berguna untuk mengetahui siapa dan bagaimana diri kita yang sesungguhnya. Oleh karena itu pula dalam metode-metode pengembangan kepribadian yang paling modern sekalipun, pemanfaatan latar belakang diri seseorang sebagai alat refleksi diri untuk membangkitkan pemicu semangat kearah yang lebih efektif masih sangat ampuh dan bermanfaat. Didalam hal ini kita sebagai seorang insan Tao modern yang proaktif tentunya diharapkan juga dapat memahami dan menyadari hal tersebut, sehingga dapat memandang diri sekarang ini secara komprehensif sebagai suatu hasil dari proses-proses terdahulu yang berkesinambungan untuk dijadikan landasan kearah depan yang lebih baik dan semakin baik.

Bagi sebagian orang mengenali diri sendiri mungkin adalah masalah yang mudah tapi umumnya sebagian besar orang menganggap adalah masalah yang sukar dan sulit. Secara pribadi saya sendiri berpendapat bahwa mengatasi proses pengenalan diri sendiri ini memang bukanlah sebuah pekerjaan yang mudah dan gampang. Permasalahan utama yang sering timbul dan menghambat kita untuk dapat mengenali diri kita ini adalah kemampuan diri untuk berdiri secara "jujur, obyektif dan adil" dalam memberikan pandangan terhadap diri sendiri.
 
Nah, dalam kenyataannya memang hal inilah yang justru jarang bisa dilakukan oleh setiap orang . Akhirnya proses mengenali diri sendiri ini memang akan menjadi sangat sulit dan membingungkan karena faktor ketidak jujuran, ketidak obyektifan dan ketidak adilan dalam memandang diri itu sendirilah yang harus bisa disadari dan diperbaiki (revisi).

Masyarakat kita
Fakta yang disebutkan oleh Fromm pada tahun 1955 dengan konteks masyarakat Amerika itu masih tampak dalam masyarakat kita saat ini. Identitas massa tampak dari adanya orang-orang yang tidak berani berpikir, berpendapat, bersikap, dan bertindak berbeda dari kelompok di mana ia menjadi bagiannya kendati kelompoknya melakukan kesalahan.

Identitas massa juga tampak dari fenomena saat para pemuda, ibu-ibu, bapak-bapak, dan juga anak-anak digiring untuk melakukan aksi (demonstrasi atau mengikuti arus pikiran tertentu) tanpa benar-benar memahami maknanya.

Bila ditanya mengapa ia melakukan aksi itu, jawaban yang diberikan akan dicari-cari sesuai dengan apa yang kira-kira diharapkan oleh pihak yang memiliki otoritas atas dirinya atau oleh pemberi perintah. 

Tampak bahwa jawaban yang diberikan bukan bersumber dari pemikiran atau perasaan asli dari dalam dirinya. Ekspresi mereka tampak kosong dengan mata bergerak mencari-cari. Atau sebaliknya, justru berlebihan dalam ekspresi, tetapi tetap tampak sebagai pembeo.

Kita juga dengan mudah menemukan bagaimana para orang dewasa (bukan hanya orang muda atau anak-anak) masih senang menyatakan, “Saya hanya menjalankan perintah” atau terlalu sering menyatakan, “Menurut petunjuk …….”.  

Begitu sering kita menemukan fenomena identitas massa, tak lain merupakan hasil pendekatan otoriter yang diterapkan secara kolektif pada masa lalu. Pada level pemerintah, kita mengenal rezim Soeharto yang selama 30-an tahun menggunakan pendekatan militeristik. Pada level keluarga, banyak orangtua yang mengalami keotoriteran penguasa meneruskan pendekatan itu dalam keluarga. 

Bukan hanya keotoriteran yang memungkinkan berkembangnya identitas massa. Dalam masyarakat, kita juga dapat melihat berbagai gaya hidup telah menjadi begitu penting dan “mengatur” bagaimana orang mengembangkan identitas dirinya. 
Tampak kegelisahan orang-orang untuk selalu dapat mengikuti gaya hidup tertentu yang pada umumnya berbau materialisme. Mereka telah berilusi “menemukan identitas diri” dengan menjadi bagian dari kelompok dengan gaya hidup tertentu. 

Identitas dan moralitas
“Malu” merupakan hal yang diharapkan oleh masyarakat bila seseorang diketahui melakukan tindakan amoral, melanggar norma masyarakat. Rasa malu merupakan pertanda bahwa seseorang mempertimbangkan pikiran dan perasaan masyarakat pada umumnya. 

Memiliki rasa malu memang lebih baik daripada tidak memiliki rasa malu ketika seseorang berbuat amoral. Namun, bila hanya memiliki rasa malu, tanpa merasa bersalah karena telah mengingkari suara hatinya sendiri, hal itu berarti ia masih membuka peluang diri untuk melakukan tindakan amoral berikutnya asalkan tidak diketahui oleh masyarakat. Identitas diri yang dikembangkan orang seperti ini masih berupa identitas massa.

Hal yang paling penting bila seseorang berbuat amoral adalah adanya rasa bersalah karena telah mengingkari suara hatinya sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa yang bersangkutan telah mengembangkan identitas diri tidak hanya berdasarkan otoritas massa, tetapi juga telah bersentuhan dengan suara hati yang merupakan sumber dari identitas sejati yang dapat dimiliki setiap orang. 

Mental yang sehat
Kebutuhan fisik (makan, minum, seks) merupakan kebutuhan dasar manusia yang tidak berbeda dengan binatang. Meskipun kebutuhan dasar ini sepenuhnya terpuaskan, bukanlah jaminan bagi kesehatan dan kesejahteraan mental. Fromm berpendapat bahwa kesehatan dan kesejahteraan mental bergantung pada pemuasan kebutuhan-kebutuhan yang khas manusiawi: kebutuhan akan keterbukaan hubungan, transendensi (menyadari sebagai manusia ciptaan dan kebutuhan untuk mengatasi keadaan sebagai ciptaan yang pasif), keberakaran (menemukan akar-akar manusiawi yang baru), rasa identitas, serta kerangka orientasi (intelektual) dan pengabdian. Tampak kebutuhan akan rasa identitas merupakan salah satu dari kebutuhan khas manusiawi.

Bila kebutuhan dasar tidak terpenuhi, akan berkembang kondisi tidak sehat. Kendati terpenuhi, jika hal itu terpuaskan dengan cara tidak memuaskan, akan timbul konsekuensi berkembangnya neurosis (gangguan mental dalam keadaan masih dapat berinteraksi dengan orang lain berdasarkan realitas).

Secara ringkas, Fromm menjelaskan, kesehatan mental dicirikan oleh kemampuan mencintai dan mencipta dengan melepaskan diri dari ikatan-ikatan inses terhadap klan dan tanah air, dengan rasa identitas yang berdasarkan pengalaman akan diri sebagai subyek dan pelaku dorongan-dorongan dirinya, dengan menangkap realitas di dalam dan di luar diri, melalui pengembangan obyektivitas dan akal budi.


Sumber: